Matahari, Bintang, dan Bulan
Matahari, Bintang, dan Bulan
" Matahari dan Bintang dilangit tidak bisa bersama dan bersatu!. Tapi kita ada dibumi bukan dilangit hanya saja kita yang terlalu mengibaratkan dua hal itu "
Penulis : Ucup KusWar
Terbangunku dari tidur, membuka mata dan ku tatap atap kamarku. Dia selalu jadi orang pertama yang aku ingat saat aku terbangun, orang bilang orang yang pertama kita ingat saat bangun dari tidur adalah seseorang yang berarti, seseorang kita cintai.
Tidak ada artinya untukku mencintainya, ku lihat nyata dia sudah berdua, dia sudah termiliki. Aku hanya jadi sahabat baik untuknya, tempat berbagi ceritanya saat dia bahagia dan saat hatinya terluka. Diana, sahabat sejak aku mulai sekolah SMP sampai sekarang kuliah satu fakultas dan satu kelas.
Setiap hari aku rindu dia walau pun aku setiap hari bertemu dengannya. Namanya juga cinta. Aku bangun dari tempat tidurku untuk berangkat kuliah dan bertemu sahabat tercinta.
" Ardan, ayo kita makan siang. Aku mau cerita " Ajaknya menarik tanganku.
" Tunggu Na, aku lagi.... "
" Ahh lama. Buruan " Memaksa dan tidak peduli.
Dia selalu demikian, dia bukan type wanita yang senang menunggu.
" Dan, kenapa sih cowok itu selalu menyebalkan? " tanyanya.
" Menyebalkan kenapa? "
" Dia suka hilang tanpa kabar, padahal aku nunggu kabar dari dia "
" Diana, cowok itu kadang butuh waktu untuk sendiri mereka kayak gitu bukan karena gak peduli. Cinta itu selalu menuntut kita saling mengerti dan gak menuntut hak sendiri untuk di turuti."
" Tapi aku gak tahan Dan. Aku juga butuh waktu berdua sama dia. "
" Kamu harus ngerti dia. Sulit memang untuk saling mengerti karna egois yang masih saling tinggi, perlu menekan perasaan agar tidak berakhir perpisahan "
" Bijak yh. Hehehe. "
" Na, Apa kamu sayang sama dia? " tanyaku serius.
" Dan, kalo aku gak sayang sama dia mana mau aku bertahan sampai sekarang " jawaban benar-benar dari perasaan. Rasanya ingin ku katakan bahwa aku pun demikian padanya, begitu sayang. Tapi hanya ku ucapkan dalam hati.
" Kalo begitu, bertahan. Kamu pasti sanggup " senyumku mencoba menguatkannya.
" Entahlah, Dan. Kadang aku yang merasa tertekan sama keadaan yang memaksakan hubungan berjalan dengan jalan yang seperti ini, aku ingin bertahan tapi tidak nyaman. Aku ingin akhiri, tapi sepertinya aku sudah cinta mati " Diana mehela napas.
" Sekarang, mau kamu gimana? "
" Mungkin sekarang pilihanku adalah bertahan, karna aku sudah yakin dia adalah tujuan " Diana kembali tersenyum.
" Semoga, Na. Sekarang kita makan, aku lapar dengerin kamu curhat. " Aku menutup pembicaraan.
" Okeh, kamu yang nelaktir aku yh, Haha. " tawanya riang.
" Kok jadi aku? Kan kamu yang ngajakin makan! "
" Gak mau, maunya kamu yang nelaktir " wajahnya cemberut, tapi tetap terlihat lucu dan manis. Dan aku pun selalu luluh.
" Okeh, gak apa-apa aku yang nelaktir " Aku mengalah.
" Asyikk, Makasih Ardan. Kamu memang sahabat terbaiku " Dia tersenyum ceria.
Aku tersenyum. Aku hanya ingin melihatnya bahagia, setidaknya aku bisa menjadi alasan baginya tersenyum saat dia menangis. Menjadi bahu tempatnya bersadar saat dia lelah dengan hidupnya, itu cukup membuatku bahagia.
" Kamu kapan punya pacar? " Tanyanya membuatku tersedak. Lalu, aku segera meminum air.
" Apa? Pacar? "
" Iyah pacar. Betah banget sendirian terus " Diana tertawa keci.
" Masih ada kamu, hehe. Buat apa sih punya pacar kalo kita masih merasa sendirian "
" Ngeledek " Diana sedikit kesal.
Aku melihat seorang lelaki bertubuh tinggi, berkulit putih, pakainnya rapih dengan tas berwarna hitam berjalan menghampiriku dan Diana yang sedang makan. Dia kekasih Diana, Lukman.
Dia menatap tajam kearahku. Entah apa yang dia pikirkan tentangku. Lalu duduk disebelah Diana.
" Kamu ngapain disini sama Ardan? " tanya dengan nada sedikit meninggi.
" Aku lagi makan siang sama Ardan. " jawab Diana pelan.
Diana melihat kearahku, lalu memberikan isyarat agarku pergi dari kantin. Lalu, aku pun pergi meninggalkan mereka berdua. Aku mengerti karna ini posisi yang tidak baik, karna dia pernah cerita Lukman sedikit posesif. Aku ingin tau, dan duduk tidak jauh dari tempat sebelumnya hanya saja tidak terlihat oleh mereka.
" Kenapa kamu makan siang sama dia? "
" Kenapa kamu gak bisa nemenin aku? " Diana berbalik tanya.
" Aku sibuk, tolong ngerti "
" Aku ngerti, dan kamu juga harus ngerti! aku bukan orang yang senang sendiri "
" Kenapa jadi nyalahin aku? Harusnya.... "
" Lukman.! Aku mau sendiri. Kamu pergi atau aku yang pergi? "
Lukman terdiam. Lalu menahan yang ingin dia ucapkan. Beberapa saat kemudian, Lukman pergi meninggalkan Diana sendiri.
Aku duduk dibangku samping kantin dekat lapangan olahraga. Aku sebenernya merasa tak tahan melihat Diana sendirian, aku ingin menemaninya tapi ku urungkan. Aku pikir dia butuh waktu sendirian. Aku membiarkannya. Aku yang mencintaimu. Lalu, kenapa dia memilikimu? Aku punya hati, hatiku bisa merasakan bagaimana ketika ia merasa kesakitan. Bagiku itu sebuah tuntutan prasaan saat ku lihat dirimu bersamanya adalah kenyataan.
Terlintas dibenakku sewaktu pelajaran olahraga smp, aku melihatnya menangis karna lupa membawa seragam olahraga. Guru olahraga yang suka menghukum jika muridnya tidak memakai seragam olahraga saat pelajaranya.
" Diana, kamu kenapa nangis? " tanyaku polos.
" Aku lupa bawa baju olahraga, aku takut dihukum " Diana menangis mendudukan kepalanya kemeja belajar.
Aku hanya diam melihatnya menangis. Akhirnya aku mengalah, memberikan seragam olahragaku untuk Diana.
" Pakai aja punya aku " Senyumku memberikan seragam olahraga untuknya.
" Nanti kamu? "
" Aku bawa dua " Berbohongku supaya dia mau memakai seragam olahragaku. Karna jika tidak hukumannya berat, jalan jongkok keliling lapangan. Aku tidak mau Diana yang dihukum.
" Beneran? " Diana berhenti menangis.
" Beneran. Cepatan ganti baju sebentar lagi mau mulai "
" Ardan, Makasih yh. Kamu baik "
Aku tersenyum lalu keluar kelas.
Jam Olahraga sudah dimulai, pak Iwan sudah mulai mengabsen murid. Aku berbaris paling belakang supaya tidak terlihat, Diana paling depan.
" Ardan Hermawan? " Pak Iwan memanggil namaku.
" Hadir pak " Sahutku. Pak Iwan menatap ke arahku karna aku tidak memakai seragam olahraga.
" Ke mana seragammu? "
" Dia... " Diana mencoba menjelaskan.
" Baju saya belum kering pak " Aku memotong ucapan Diana.
" Kamu keliling lapangan 5x jalan jongkok "
Aku pun melaksanakan hukumannya, Diana terus memperhatikanku. Aku membalasnya dengan senyuman pertanda aku tidak masalah.
Pelajaran olahraga sudah selsai.
" Kamu kenapa bohong, kamu bilang punya dua.? " Diana membawakan air minum.
" Kalo aku gak bohong, kamu pasti gak mau. Aku gak mau cewek yang kena hukuman. " aku memimun air darinya.
" Makasih yh, Ardan. " Menatap kearah mataku.
" Sama-sama. Aku gak suka melihat cewek menangis apalagi cewek itu kamu. "
" Kamu jadi sahabat baik aku yh " pintanya.
" Aku mau " sontakku menjawab. Aku dan Diana mengaitkan kelingking tanda persahabatan.
Tiba-tiba suara temanku Citra membuyarkan ingatanku. " Dan, kamu ngapain ngelamun sendiri disini? Kenapa juga Diana dikantin duduk sendiri? "
" Citra? Aku gak apa-apa kok " aku menenangkan hatiku.
Aku mendiamkan pikiranku tentangnya sejenak. Lalu, memfokuskan pembicaraan dengan Citra.
" Kamu mau memendam perasaan sampai kapan? Sampai kamu melihatnya bahagia dan kamu terluka? " Tanya Citra seolah tau apa yang aku pikiran. Karna hanya Citra yang tau seperti apa perasaanku pada Diana.
" Belum ada waktu yang tepat Cit, dia juga masih sama Lukman "
" Mau nunggu sampai mereka selesai, kalo gak selesai gimana? " Citra mencoba memaksa.
" Aku tau, kadang perasaan itu lebih baik disimpan didalam hati sendiri, merasakannya sendiri. Walau pun pada dasarnya hati selalu ingin mengatakan yang sejujurnya kepada orang yang dicintainya. Bagiku cinta itu tak perlu dipaksa mengatakan dan memilih bahagia bersama dia yang cintainya, tapi lebih kepada memilih melihat dia bahagia bersama cintanya "
" Terserah kamu saja " Citra mencoba mengerti.
Kadang orang yang kita cinta memang diciptakan bukan untuk kita bahagiakan, tapi untuk bahagia bersama orang yang ia ingin bahagiakan. Sekarang aku hanya ingin berkata dalam do'a dan selalu ku harap semoga bahagia untukmu dan untukku nantinya.
Aku pulang kerumah, hari ini pun begitu sangat lelah. Aku duduk diatas meja belajar kamarku. Ku tatap photo berdua bersama Diana. Perasaan ini semakin menekanku, rasanya sangat sakit sudah tujuh tahun aku tahan dan ku kuatkan. Akan selalu ku tahan, aku takkan kalah. Meski hati punya masa dimana dia akan lelah.
[]
Duduk di atas meja belajarnya. Diana tidak sengaja menemukan buku tulis lamanya. Lalu, membuka buku yang dijilid dengan gambar Matahari, Bintang dan Bulan. Hal yang difilosofikan olehnya. Matahari adalah Ardan. Bintang dan Bulan adalah dirinya dan Lukman.
Diana teringat dulu sewaktu belajar melukis bersama Ardan. Karna hanya Ardan yang saat itu membuatnya semangat belajar, saat Diana tidak bisa mengerjakan tugasnya, Ardan orang yang setia membantu menyelesaikannya.
" Ardan, kamu lagi melukis apa? " tanya Diana.
" Aku melukis Matahari yang sedang bersinar "
" Kenapa Matahari? "
" Aku suka, dia bisa bertahan walau pun sendirian. Kalo kamu melukis apa? "
" Aku mau melukis Bintang, kamu bantuin yh "
" Iyah, pasti aku bantuin "
" Kalo kamu Matahari, aku Bintang. Lalu siapa Bulannya? Ardan aku mau kamu jadi Bulan. Biar kita bisa bersama "
" Aku mau jadi Matahari, walau pun berbeda waktu tapi saling menyinari. Seperti aku yang akan selalu menyinari harimu " Senyum Ardan tulus.
Lembar demi lembar menjadi kenangan. Didalam buku tersimpan photonya berdua dengan Ardan yang sedang tertawa lepas.
" Ardan, kamu tetap menjadi Matahari yang sendiri dalam sepi, kamu sendiri tapi tetap mampu bersinar. Bahkan aku selalu bergantung sama kamu. Tanpa kamu bersinar aku pun redup. Matahari dan Bintang tidak bisa bersama, kita diciptakan untuk waktu yang berbeda. Tidak mungkin, Tuhan sudah menciptakan Bulan untukku melewati indahnya malam. Walau pun ku sadar ada rasa yang terpendam untukmu Matahariku yang sinarnya tak pernah padam. " Gumam Diana.
[]
Hari yang cerah, Aku duduk dibawah pohon yang cukup besar nyaman untuk berteduh. Berada ditempat ini bersama angin yang sejuk membuat pikiranku pun lebih terasa tenang dan lepas.
Beberapa hari ini sengaja tidak menghubungi Diana dan tidak masuk kuliah. Aku ingin menenangkan hati dan menulis. Diana menghubungiku dan mengirim pesan tapi aku mengabaikannya. Sedikit terlihat tidak peduli, karna aku ingin sendiri.
Terlihat layar ponselku menyala, kali ini dari orang berbeda. Dua kali menghubungi aku abaikan, tapi yang ketiga kalinya aku angkat karna aku pun takut ada yang penting.
" Haloo. Ardan? "
" Iyah Cit, Ada apa? " tanyaku nada biasa.
" Kamu dicariin sama Diana, kemarin Diana putus sama Lukman. Kasihan dia nangis terus. "
Menyesal, aku pikir Diana baik-baik saja.
" Sekarang Diana ada dimana? " sontakku bertanya.
" Dikampus. Tepatnya diatas kampus "
Aku langsung menutup teleponnya dan bergegas pergi ke kampus. Aku hanya berpikir saat itu aku khawatir, kenapa aku tidak ada saat dia sedang seperti itu.
Diana sedang menangis diatas kampus sendirian. Aku langsung segera menghampirinya.
" Diana " Suaraku pelan memanggilnya.
" Ardan? " Diana berlari menuju kearahku dan dia memelukku.
" Kamu putus sama Lukman? " tanyaku.
" Iyah. Dia bilang sudah tidak tahan, dan akhirnya selsai " Air matanya terus saja mengalir membuat bajuku basah.
" Sudahlah, masih ada orang lain yang bisa nerima kamu apa adanya. Percayalah " Ucapku menenangkannya.
Diana terus saja menangis tidak peduli ucapanku.
" Kamu tau? Bintang kadang memang sendirian karna Bulan kadang tidak ingin bersama Bintang. Kamu tidak perlu redup seperti ini, kamu bersinar karna cahaya Matahari bukan karna Bulan. Kamu ingat itukan? "
Sejenak keadaan menjadi tenang, Diana melepaskan pelukannya.
" Aku tau, kali ini aku mengerti. Aku ingin bahagia bersama Matahari "
" Maksudmu? " tanyaku sedikit terkejut.
" Apa kamu mencintaiku? Aku tau semua dari Citra. Dia bilang tidak tega melihatmu. " tanya diana menatapku.
Ada rasa malu, perasaan akhirnya terungkapkan tanpa aku mengatakan. Aku menatap matanya, aku membiarkan mata yang berbicara dan hati yang merasa.
" Menurutmu apakah itu mungkin, Matahari dan Bintang bisa bersama? " Diana memelukku.
" Diana, Matahari dan Bintang dilangit itu tidak mungkin bisa bersama dan bersatu! " jawabku tegas.
Diana melepaskan pelukannya.
" Tapi kita ada Bumi bukan dilangit. Hanya kita yang terlalu mengibaratkan dua hal itu. Aku mencintaimu Diana "
" Aku juga mencintaimu sejak dulu, tapi wanita hanya bisa menunggu " mengeratkan pelukannya.
" Maaf sudah membuatmu menunggu, Bintangku "
Sebenarnya aku ingin katakan itu sejak dulu, sejak pertama kali hati mulai merasa rindu. Dulu aku pikir Matahari tidak akan bisa memeluk Bintang, ternyata salah. Hari ini terbuktikan semua bisa saja terjadi atas kehendak Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin.
*Sun* (*) Berpeluk.
" Matahari dan Bintang dilangit tidak bisa bersama dan bersatu!. Tapi kita ada dibumi bukan dilangit hanya saja kita yang terlalu mengibaratkan dua hal itu "
Penulis : Ucup KusWar
Terbangunku dari tidur, membuka mata dan ku tatap atap kamarku. Dia selalu jadi orang pertama yang aku ingat saat aku terbangun, orang bilang orang yang pertama kita ingat saat bangun dari tidur adalah seseorang yang berarti, seseorang kita cintai.
Tidak ada artinya untukku mencintainya, ku lihat nyata dia sudah berdua, dia sudah termiliki. Aku hanya jadi sahabat baik untuknya, tempat berbagi ceritanya saat dia bahagia dan saat hatinya terluka. Diana, sahabat sejak aku mulai sekolah SMP sampai sekarang kuliah satu fakultas dan satu kelas.
Setiap hari aku rindu dia walau pun aku setiap hari bertemu dengannya. Namanya juga cinta. Aku bangun dari tempat tidurku untuk berangkat kuliah dan bertemu sahabat tercinta.
" Ardan, ayo kita makan siang. Aku mau cerita " Ajaknya menarik tanganku.
" Tunggu Na, aku lagi.... "
" Ahh lama. Buruan " Memaksa dan tidak peduli.
Dia selalu demikian, dia bukan type wanita yang senang menunggu.
" Dan, kenapa sih cowok itu selalu menyebalkan? " tanyanya.
" Menyebalkan kenapa? "
" Dia suka hilang tanpa kabar, padahal aku nunggu kabar dari dia "
" Diana, cowok itu kadang butuh waktu untuk sendiri mereka kayak gitu bukan karena gak peduli. Cinta itu selalu menuntut kita saling mengerti dan gak menuntut hak sendiri untuk di turuti."
" Tapi aku gak tahan Dan. Aku juga butuh waktu berdua sama dia. "
" Kamu harus ngerti dia. Sulit memang untuk saling mengerti karna egois yang masih saling tinggi, perlu menekan perasaan agar tidak berakhir perpisahan "
" Bijak yh. Hehehe. "
" Na, Apa kamu sayang sama dia? " tanyaku serius.
" Dan, kalo aku gak sayang sama dia mana mau aku bertahan sampai sekarang " jawaban benar-benar dari perasaan. Rasanya ingin ku katakan bahwa aku pun demikian padanya, begitu sayang. Tapi hanya ku ucapkan dalam hati.
" Kalo begitu, bertahan. Kamu pasti sanggup " senyumku mencoba menguatkannya.
" Entahlah, Dan. Kadang aku yang merasa tertekan sama keadaan yang memaksakan hubungan berjalan dengan jalan yang seperti ini, aku ingin bertahan tapi tidak nyaman. Aku ingin akhiri, tapi sepertinya aku sudah cinta mati " Diana mehela napas.
" Sekarang, mau kamu gimana? "
" Mungkin sekarang pilihanku adalah bertahan, karna aku sudah yakin dia adalah tujuan " Diana kembali tersenyum.
" Semoga, Na. Sekarang kita makan, aku lapar dengerin kamu curhat. " Aku menutup pembicaraan.
" Okeh, kamu yang nelaktir aku yh, Haha. " tawanya riang.
" Kok jadi aku? Kan kamu yang ngajakin makan! "
" Gak mau, maunya kamu yang nelaktir " wajahnya cemberut, tapi tetap terlihat lucu dan manis. Dan aku pun selalu luluh.
" Okeh, gak apa-apa aku yang nelaktir " Aku mengalah.
" Asyikk, Makasih Ardan. Kamu memang sahabat terbaiku " Dia tersenyum ceria.
Aku tersenyum. Aku hanya ingin melihatnya bahagia, setidaknya aku bisa menjadi alasan baginya tersenyum saat dia menangis. Menjadi bahu tempatnya bersadar saat dia lelah dengan hidupnya, itu cukup membuatku bahagia.
" Kamu kapan punya pacar? " Tanyanya membuatku tersedak. Lalu, aku segera meminum air.
" Apa? Pacar? "
" Iyah pacar. Betah banget sendirian terus " Diana tertawa keci.
" Masih ada kamu, hehe. Buat apa sih punya pacar kalo kita masih merasa sendirian "
" Ngeledek " Diana sedikit kesal.
Aku melihat seorang lelaki bertubuh tinggi, berkulit putih, pakainnya rapih dengan tas berwarna hitam berjalan menghampiriku dan Diana yang sedang makan. Dia kekasih Diana, Lukman.
Dia menatap tajam kearahku. Entah apa yang dia pikirkan tentangku. Lalu duduk disebelah Diana.
" Kamu ngapain disini sama Ardan? " tanya dengan nada sedikit meninggi.
" Aku lagi makan siang sama Ardan. " jawab Diana pelan.
Diana melihat kearahku, lalu memberikan isyarat agarku pergi dari kantin. Lalu, aku pun pergi meninggalkan mereka berdua. Aku mengerti karna ini posisi yang tidak baik, karna dia pernah cerita Lukman sedikit posesif. Aku ingin tau, dan duduk tidak jauh dari tempat sebelumnya hanya saja tidak terlihat oleh mereka.
" Kenapa kamu makan siang sama dia? "
" Kenapa kamu gak bisa nemenin aku? " Diana berbalik tanya.
" Aku sibuk, tolong ngerti "
" Aku ngerti, dan kamu juga harus ngerti! aku bukan orang yang senang sendiri "
" Kenapa jadi nyalahin aku? Harusnya.... "
" Lukman.! Aku mau sendiri. Kamu pergi atau aku yang pergi? "
Lukman terdiam. Lalu menahan yang ingin dia ucapkan. Beberapa saat kemudian, Lukman pergi meninggalkan Diana sendiri.
Aku duduk dibangku samping kantin dekat lapangan olahraga. Aku sebenernya merasa tak tahan melihat Diana sendirian, aku ingin menemaninya tapi ku urungkan. Aku pikir dia butuh waktu sendirian. Aku membiarkannya. Aku yang mencintaimu. Lalu, kenapa dia memilikimu? Aku punya hati, hatiku bisa merasakan bagaimana ketika ia merasa kesakitan. Bagiku itu sebuah tuntutan prasaan saat ku lihat dirimu bersamanya adalah kenyataan.
Terlintas dibenakku sewaktu pelajaran olahraga smp, aku melihatnya menangis karna lupa membawa seragam olahraga. Guru olahraga yang suka menghukum jika muridnya tidak memakai seragam olahraga saat pelajaranya.
" Diana, kamu kenapa nangis? " tanyaku polos.
" Aku lupa bawa baju olahraga, aku takut dihukum " Diana menangis mendudukan kepalanya kemeja belajar.
Aku hanya diam melihatnya menangis. Akhirnya aku mengalah, memberikan seragam olahragaku untuk Diana.
" Pakai aja punya aku " Senyumku memberikan seragam olahraga untuknya.
" Nanti kamu? "
" Aku bawa dua " Berbohongku supaya dia mau memakai seragam olahragaku. Karna jika tidak hukumannya berat, jalan jongkok keliling lapangan. Aku tidak mau Diana yang dihukum.
" Beneran? " Diana berhenti menangis.
" Beneran. Cepatan ganti baju sebentar lagi mau mulai "
" Ardan, Makasih yh. Kamu baik "
Aku tersenyum lalu keluar kelas.
Jam Olahraga sudah dimulai, pak Iwan sudah mulai mengabsen murid. Aku berbaris paling belakang supaya tidak terlihat, Diana paling depan.
" Ardan Hermawan? " Pak Iwan memanggil namaku.
" Hadir pak " Sahutku. Pak Iwan menatap ke arahku karna aku tidak memakai seragam olahraga.
" Ke mana seragammu? "
" Dia... " Diana mencoba menjelaskan.
" Baju saya belum kering pak " Aku memotong ucapan Diana.
" Kamu keliling lapangan 5x jalan jongkok "
Aku pun melaksanakan hukumannya, Diana terus memperhatikanku. Aku membalasnya dengan senyuman pertanda aku tidak masalah.
Pelajaran olahraga sudah selsai.
" Kamu kenapa bohong, kamu bilang punya dua.? " Diana membawakan air minum.
" Kalo aku gak bohong, kamu pasti gak mau. Aku gak mau cewek yang kena hukuman. " aku memimun air darinya.
" Makasih yh, Ardan. " Menatap kearah mataku.
" Sama-sama. Aku gak suka melihat cewek menangis apalagi cewek itu kamu. "
" Kamu jadi sahabat baik aku yh " pintanya.
" Aku mau " sontakku menjawab. Aku dan Diana mengaitkan kelingking tanda persahabatan.
Tiba-tiba suara temanku Citra membuyarkan ingatanku. " Dan, kamu ngapain ngelamun sendiri disini? Kenapa juga Diana dikantin duduk sendiri? "
" Citra? Aku gak apa-apa kok " aku menenangkan hatiku.
Aku mendiamkan pikiranku tentangnya sejenak. Lalu, memfokuskan pembicaraan dengan Citra.
" Kamu mau memendam perasaan sampai kapan? Sampai kamu melihatnya bahagia dan kamu terluka? " Tanya Citra seolah tau apa yang aku pikiran. Karna hanya Citra yang tau seperti apa perasaanku pada Diana.
" Belum ada waktu yang tepat Cit, dia juga masih sama Lukman "
" Mau nunggu sampai mereka selesai, kalo gak selesai gimana? " Citra mencoba memaksa.
" Aku tau, kadang perasaan itu lebih baik disimpan didalam hati sendiri, merasakannya sendiri. Walau pun pada dasarnya hati selalu ingin mengatakan yang sejujurnya kepada orang yang dicintainya. Bagiku cinta itu tak perlu dipaksa mengatakan dan memilih bahagia bersama dia yang cintainya, tapi lebih kepada memilih melihat dia bahagia bersama cintanya "
" Terserah kamu saja " Citra mencoba mengerti.
Kadang orang yang kita cinta memang diciptakan bukan untuk kita bahagiakan, tapi untuk bahagia bersama orang yang ia ingin bahagiakan. Sekarang aku hanya ingin berkata dalam do'a dan selalu ku harap semoga bahagia untukmu dan untukku nantinya.
Aku pulang kerumah, hari ini pun begitu sangat lelah. Aku duduk diatas meja belajar kamarku. Ku tatap photo berdua bersama Diana. Perasaan ini semakin menekanku, rasanya sangat sakit sudah tujuh tahun aku tahan dan ku kuatkan. Akan selalu ku tahan, aku takkan kalah. Meski hati punya masa dimana dia akan lelah.
[]
Duduk di atas meja belajarnya. Diana tidak sengaja menemukan buku tulis lamanya. Lalu, membuka buku yang dijilid dengan gambar Matahari, Bintang dan Bulan. Hal yang difilosofikan olehnya. Matahari adalah Ardan. Bintang dan Bulan adalah dirinya dan Lukman.
Diana teringat dulu sewaktu belajar melukis bersama Ardan. Karna hanya Ardan yang saat itu membuatnya semangat belajar, saat Diana tidak bisa mengerjakan tugasnya, Ardan orang yang setia membantu menyelesaikannya.
" Ardan, kamu lagi melukis apa? " tanya Diana.
" Aku melukis Matahari yang sedang bersinar "
" Kenapa Matahari? "
" Aku suka, dia bisa bertahan walau pun sendirian. Kalo kamu melukis apa? "
" Aku mau melukis Bintang, kamu bantuin yh "
" Iyah, pasti aku bantuin "
" Kalo kamu Matahari, aku Bintang. Lalu siapa Bulannya? Ardan aku mau kamu jadi Bulan. Biar kita bisa bersama "
" Aku mau jadi Matahari, walau pun berbeda waktu tapi saling menyinari. Seperti aku yang akan selalu menyinari harimu " Senyum Ardan tulus.
Lembar demi lembar menjadi kenangan. Didalam buku tersimpan photonya berdua dengan Ardan yang sedang tertawa lepas.
" Ardan, kamu tetap menjadi Matahari yang sendiri dalam sepi, kamu sendiri tapi tetap mampu bersinar. Bahkan aku selalu bergantung sama kamu. Tanpa kamu bersinar aku pun redup. Matahari dan Bintang tidak bisa bersama, kita diciptakan untuk waktu yang berbeda. Tidak mungkin, Tuhan sudah menciptakan Bulan untukku melewati indahnya malam. Walau pun ku sadar ada rasa yang terpendam untukmu Matahariku yang sinarnya tak pernah padam. " Gumam Diana.
[]
Hari yang cerah, Aku duduk dibawah pohon yang cukup besar nyaman untuk berteduh. Berada ditempat ini bersama angin yang sejuk membuat pikiranku pun lebih terasa tenang dan lepas.
Beberapa hari ini sengaja tidak menghubungi Diana dan tidak masuk kuliah. Aku ingin menenangkan hati dan menulis. Diana menghubungiku dan mengirim pesan tapi aku mengabaikannya. Sedikit terlihat tidak peduli, karna aku ingin sendiri.
Terlihat layar ponselku menyala, kali ini dari orang berbeda. Dua kali menghubungi aku abaikan, tapi yang ketiga kalinya aku angkat karna aku pun takut ada yang penting.
" Haloo. Ardan? "
" Iyah Cit, Ada apa? " tanyaku nada biasa.
" Kamu dicariin sama Diana, kemarin Diana putus sama Lukman. Kasihan dia nangis terus. "
Menyesal, aku pikir Diana baik-baik saja.
" Sekarang Diana ada dimana? " sontakku bertanya.
" Dikampus. Tepatnya diatas kampus "
Aku langsung menutup teleponnya dan bergegas pergi ke kampus. Aku hanya berpikir saat itu aku khawatir, kenapa aku tidak ada saat dia sedang seperti itu.
Diana sedang menangis diatas kampus sendirian. Aku langsung segera menghampirinya.
" Diana " Suaraku pelan memanggilnya.
" Ardan? " Diana berlari menuju kearahku dan dia memelukku.
" Kamu putus sama Lukman? " tanyaku.
" Iyah. Dia bilang sudah tidak tahan, dan akhirnya selsai " Air matanya terus saja mengalir membuat bajuku basah.
" Sudahlah, masih ada orang lain yang bisa nerima kamu apa adanya. Percayalah " Ucapku menenangkannya.
Diana terus saja menangis tidak peduli ucapanku.
" Kamu tau? Bintang kadang memang sendirian karna Bulan kadang tidak ingin bersama Bintang. Kamu tidak perlu redup seperti ini, kamu bersinar karna cahaya Matahari bukan karna Bulan. Kamu ingat itukan? "
Sejenak keadaan menjadi tenang, Diana melepaskan pelukannya.
" Aku tau, kali ini aku mengerti. Aku ingin bahagia bersama Matahari "
" Maksudmu? " tanyaku sedikit terkejut.
" Apa kamu mencintaiku? Aku tau semua dari Citra. Dia bilang tidak tega melihatmu. " tanya diana menatapku.
Ada rasa malu, perasaan akhirnya terungkapkan tanpa aku mengatakan. Aku menatap matanya, aku membiarkan mata yang berbicara dan hati yang merasa.
" Menurutmu apakah itu mungkin, Matahari dan Bintang bisa bersama? " Diana memelukku.
" Diana, Matahari dan Bintang dilangit itu tidak mungkin bisa bersama dan bersatu! " jawabku tegas.
Diana melepaskan pelukannya.
" Tapi kita ada Bumi bukan dilangit. Hanya kita yang terlalu mengibaratkan dua hal itu. Aku mencintaimu Diana "
" Aku juga mencintaimu sejak dulu, tapi wanita hanya bisa menunggu " mengeratkan pelukannya.
" Maaf sudah membuatmu menunggu, Bintangku "
Sebenarnya aku ingin katakan itu sejak dulu, sejak pertama kali hati mulai merasa rindu. Dulu aku pikir Matahari tidak akan bisa memeluk Bintang, ternyata salah. Hari ini terbuktikan semua bisa saja terjadi atas kehendak Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin.
*Sun* (*) Berpeluk.
0 Response to "Matahari, Bintang, dan Bulan"
Posting Komentar